"Minyak Sawit dan Komitmen Uni Eropa", op-ed oleh Duta Besar Uni Eropa Vincent Guerend (Kompas, 5 Juni 2018)
Artikel opini ini dimuat di koran Kompas, 5 Juni 2018. Baca versi online Kompas DISINI
Read here the ENGLISH VERSION
Minyak Sawit dan Komitmen Uni Eropa
oleh Vincent Guérend, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia
Akhir-akhir ini, banyak tulisan dan ucapan tentang adanya larangan Uni Eropa terhadap minyak sawit, tentang retaliasi hingga perang dagang dan tentang langkah Uni Eropa yang dapat mengakibatkan terhambatnya upaya Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan ataupun mempromosikan keberlanjutan.
Perkenankan saya untuk menjelaskan posisi Uni Eropa: Pertama dan yang paling penting, Uni Eropa tidak menerapkan larangan terhadap minyak sawit dan tidak ada rencana untuk memberlakukan pelarangan. Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar kedua untuk minyak sawit Indonesia, dengan tarif yang jauh lebih rendah dari pasar ekspor lainnya. Disamping itu, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa telah meningkat sebesar 27% pada tahun 2017 dibanding dengan tahun 2016.
Kedua, apa yang sering dicap sebagai "kampanye hitam" minyak sawit sebenarnya murni merupakan ekspresi keprihatinan dari konsumen dan produsen terhadap lingkungan. Informed consumers atau konsumen cerdas (di Uni Eropa dan berbagai belahan dunia) semakin menginginkan pola konsumsi yang lebih sehat, lebih adil dan lebih berkelanjutan seperti aksi mendaur ulang sampah, menggunakan tas kanvas daripada kantong plastik, membeli produk hasil tanam lokal dan sebagainya. Yang mendasari pola-pola ini adalah upaya menjaga keberlangsungan planet kita demi generasi mendatang. Kekhawatiran akan hal-hal seperti resiko deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati atau dampak terhadap perubahan iklim menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan mencantumkan label ‘bebas minyak sawit’ pada produk-produknya mencerminkan preferensi dari para konsumen. Preferensi konsumen juga tercermin dengan adanya pencantuman label lainnya pada produk-produk Uni Eropa, seperti label organik, bebas gula atau yang mengandung GMO.
Jadi, mengapa ada perdebatan ini? Walau kecemasan terhadap perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati bukanlah hal baru, tetapi kekhawatiran ini semakin meningkat. Yang baru adalah proposal dari Komisi Eropa – yaitu badan eksekutif Uni Eropa – untuk membatasi hingga 3,8% semua bahan bakar hayati (biofuel) berbasis tanaman yang turut dihitung dalam pencapaian target energi terbarukan Uni Eropa. Adapun Parlemen Eropa – yaitu salah satu lembaga legislasi Uni Eropa – mengambil sikap melalui pengambilan suara bahwa mulai tahun 2021 bahan bakar hayati dan cairan hayati (bio-liquid) yang dihasilkan dari minyak sawit tidak akan lagi disertakan dalam penghitungan capaian energi terbarukan. Keputusan akhir belum diambil. Negosiasi antara Parlemen Eropa, Dewan Uni Eropa (di mana ke-28 negara anggota Uni Eropa terwakili) dan Komisi Eropa kemungkinan akan berlanjut hingga musim gugur tahun ini.
Kini, perkenankan saya menjelaskan konteksnya. Sebagai bagian dari komitmen untuk mengatasi perubahan iklim, Uni Eropa telah menetapkan bahwa target bauran energi di Uni Eropa yang berasal dari sumber-sumber terbarukan setidaknya harus mencapai 27% pada tahun 2030. Untuk dapat mencapai target ini, maka pada tahun 2016, Komisi Eropa mengusulkan untuk merevisi legislasi Uni Eropa tentang energi terbarukan dalam rangka mengurangi jejak karbon, antara lain dari sektor transportasi. Mengapa? Karena setelah beberapa tahun mempromosikan penggunaan bahan bakar hayati berbasis tanaman, kami kemudian melihat bahwa meningkatnya permintaan justru mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai harapan karena berdampak pada produksi tanaman tradisional untuk makanan dan pakan, serta berdampak pada area-area rentan seperti hutan, lahan basah dan lahan gambut. Ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar dan akhirnya justru melenceng dari upaya penghematan emisi dari bahan bakar hayati berbasis tanaman.
Berikutnya, mengenai minyak sawit berkelanjutan: Uni Eropa menyambut baik dan secara aktif mendukung target Indonesia untuk mengurangi emisi GRK berbasis lahan sebesar 70-90% pada tahun 2030. Kami juga memuji upaya Indonesia untuk mencapai 100% minyak sawit berkelanjutan pada tahun 2020. Kami siap bekerja sama dengan Indonesia untuk memperkuat upayanya dalam mempromosikan keberlanjutan untuk kepentingan semua, khususnya petani kecil Indonesia.
Uni Eropa mendukung penuh perdagangan bebas dan adil untuk semua, serta mematuhi hukum internasional. Dialog adalah kunci untuk menemukan solusi terbaik. Inilah sebabnya kunjungan 13 anggota Parlemen Eropa ke Jakarta pada awal bulan Mei merupakan kunjungan yang sangat penting. Ini juga alasannya mengapa saya bersama para duta besar negara anggota Uni Eropa mengadakan pertemuan dan berinteraksi secara regular dengan berbagai pemangku kepentingan mengenai isu minyak sawit. Ini pula sebabnya mengapa kunjungan ke perkebunan kelapa sawit di Sumatera, yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri untuk para duta besar Eropa, sangat bermanfaat.
Uni Eropa dan Indonesia sama-sama memiliki kepentingan dan kewajiban untuk memenuhi komitmen yang telah kita sepakati bersama dengan komunitas internasional terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Perjanjian Paris.
Mari kita terus bekerja sama untuk mendapatkan solusi berkelanjutan, yaitu melalui dialog yang terbuka dan terinformasi. Mari menggunakan kemitraan kita yang kuat dan semakin berkembang untuk mengubah kekhawatiran jangka pendek tentang minyak sawit menjadi peluang untuk membuat kemajuan nyata dan sama-sama mendapatkan manfaat.